dia

Idealisme Jatuh Cinta

Jatuh cinta itu bukan sekedar soal wajah dan perawakan.

Jatuh cinta itu soal menemukan satu titik yg menyamankan.

Jatuh cinta itu bukan sekedar apa yg visual kita bisa nikmati.

Jatuh cinta itu soal apa yg seluruh tubuh kita bisa nikmati. Terutama hati.

Jatuh cinta itu bukan melulu soal wajahmu, tinggi badanmu, berat badanmu, dan hal-hal fisikal lainnya.

Jatuh cinta itu soal bagaimana.

Bagaimana kata-katamu, bahasamu, caramu bertutur kata, pun caramu memperlakukan aku, atau kami, perempuan.

 

Dia bisa saja jatuh cinta karena ketampananmu.

Tapi aku lebih suka jatuh cinta karena kemampuanmu menyamankanku.

Dia bisa saja jatuh cinta karena kendaraanmu.

Tapi aku lebih suka jatuh cinta karena kamu mau diajak jalan kaki atau ngebis.

Dia bisa saja jatuh cinta karena popularitasmu.

Tapi aku lebih suka jatuh cinta karena kamu refleks berjalan di sisi kananku ketika di trotoar.

 

Kepekaan bukan cuma soal ‘kamu kok ngga ngeh sih kalo aku marah?’. Tapi juga soal naluri melindungi.

Saya lebih meleleh ketika kamu refleks berjalan di sisi luarku ketika menyeberang ketimbang kamu harus selalu sms bertanya soal makan.

Dan saya lebih meleleh ketika kamu bertanya ‘udah sholat? gih sana. keburu abis lho waktunya’.

 

Aku jatuh cinta dari caramu memandangku. Mata teduh itu…

Aku jatuh cinta dari caramu menanggapi bicaraku, menanggapi cerewetku, dengan sunggingan senyum dan jawaban antusias.

Aku jatuh cinta karena bibirmu sanggup dan mampu melafadzkan adzan, dzikir, dan kalimat-kalimat indah Allah lainnya.

Aku jatuh cinta dari caramu tersenyum ketika melihatku. Senyum tulus tanpa kepalsuan.

Aku jatuh cinta karena kerelaanmu menunda waktu tidur dan menyempatkan diri mengaji. Di tengah-tengah kelelahanmu pulang dari kantor.

Aku jatuh cinta bukan sekedar karena kamu ganteng, tinggi, keren, dan teman-temannya.

Aku jatuh cinta dari caramu memandang, tersenyum, memperlakukan.

Iya, ada hal-hal yg lebih sepele-tapi-penting daripada sekedar penampilan.

Aku jatuh cinta karena aku jatuh cinta.